Wednesday 24 August 2011

Tumbilotohe, Tradisi yang penuh Kesan

Tradisi Tumbilotohe di Gorontalo merupakan tradisi yang dipelihara bertahun-tahun lamanya di daerah yang dikenal juga sebagai “Serambi Madinah” itu. Makna harfiah Tumbilotohe berasal dari bahasa setempat yakni “Tumbilo” yang berati “menyalakan” dan “Tohe” yang berarti “Lampu”, yang berarti “Menyalakan Lampu”. Pelaksanaan Tumbilotohe diadakan menjelang Maghrib hingga pagi menjelang dan dilaksanakan pada 3 malam terakhir bulan Ramadhan.

Sejarah menyebutkan, tradisi ini dimulai sejak abad XV dan ketika itu, lampu penerangan untuk “Tumbilotohe” berasal dari getah pohon damar yang dapat menyala dalam waktu lama. Damar yang menyala itu dibungkus dengan janur dan dipasang diatas dudukan kayu. Semakin sulitnya memperoleh Damar, akhirnya penerangan Tumbilotohe diganti dengan minyak kelapa (padamala). Perkembangan zaman pun ikut menyesuaikan dan saat saya merayakan Tumbilotohe di kampung nenek saya di Kelurahan Tapa, Gorontalo pada tahun 1990 yang digunakan adalah lampu minyak tanah yang dipasang berjejeran di pagar rumah. Beberapa rumah memakai penerangan lampu kelap-kelip berwarna-warni namun ada juga yang mempertahankan tradisi menggunakan lampu minyak tanah –seperti yang dilakukan oleh kakek/nenek saya — yang diletakkan di kerangka dudukan kayu atau bambu di atas pagar.

Di malam hari menjelang lebaran tiba cahaya lampu bersinar benderang sepanjang jalan. Sangat indah. Cahaya lampu tidak hanya menerangi pinggir jalan di pagar rumah, namun juga didepan halaman mesjid, perkantoran bahkan sawah serta lapangan sepakbola pun sekelilingnya dipasangi lampu. Saya masih ingat pernah memasang lampu tumbilotohe di sawah kakek/nenek saya yang kebetulan berada dibelakang rumah. Ritual Tumbilotohe menjadi daya tarik sendiri bagi wisatawan asing maupun lokal untuk datang khusus menyaksikan kemeriahan khas akhir Ramadhan di Gorontalo ini.

Berbagai festival biasanya dilaksanakan pada malam-malam tumbilotohe di Gorontalo. Terkadang digelar lomba-lomba meriah bernuansa religius antar kampung Yang paling berkesan buat saya adalah seusai tarawih atau menjelang sahur, saya menghadiri permainan Bunggo’ atau meriam bambu. Meriam yang dibuat dari ruas bambu pilihan yang ujungnya dilubangi di bagian moncong, dan di ujung yang lain diberikan lubang kecil yang diisi minyak tanah dimana api akan disulut disana. “Dentuman” meriam bambu sangat meriah dimalam Tumbilotohe.

Salah satu yang cukup unik juga dimalam Tumbilotohe adalah hadirnya “Alikusu” atau gerbang yang terbuat dari bambu kuning, bersama hiasan janur, pohon pisang, tebu dan lampu minyak. “Alikusu” dipasang di pintu masuk kantor, rumah, mesjid atau perbatasan daerah. Hiasan Alikusu sangat indah dan semarak.

Saya mengenang, selama waktu pelaksanaan Tumbilotohe saya tidak pernah melewatkan pesona kerlap-kerlip lampu yang terhampar bagai samudera cahaya di Gorontalo. Begitu memukau. Saya membayangkan bila saya menyaksikannya dari atas maka kota “Serambi Madinah” itu diliputi kemilau Tumbilotohe. Belakangan ini, seiring tingginya harga minyak tanah maupun listrik, tradisi Tumbilotohe di Gorontalo kurang terlalu semarak lagi seperti yang saya rasakan 25 tahun silam. Meskipun begitu tradisi ini tetap dipelihara dan dipertahankan sebagai ritual unik khas daerah tersebut. Bahkan awal penyelenggaraan Tumbilotohe dibuka langsung oleh Gubernur Propinsi Gorontalo.

Semoga tradisi khas unik ini bisa tetap lestari dan menjadi khasanah kekayaan budaya tradisional bangsa kita.

No comments:

Post a Comment