Apabila seseorang berkeinginan sesuatu terhadap kita, apakah kita sudah terbiasa mengucapkan kalimat Insya Allah? Sebagai contoh, seorang sahabat kita bakal melangsungkan pernikahan dan menjemput kita, kita melafazkan kalimat Insya Allah, tetapi lafaz itu seolah-olah diragui oleh sahabat kita. Mengapa ini terjadi? Adakah lafaz ini bukan bermakna berjanji? Ikuti ulasan di bawah ini. Jika kita amati ayat-ayat Al-Qur’an, ternyata kalimat insya Allah telah digunakan oleh nabi-nabi terdahulu sebelum Nabi Muhammad Saw.
Saat Nabi Ibrahim menyampaikan perintah Allah untuk menyembelih Nabi Ismail, anak yang saleh ini berkata: “Wahai Ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang bersabar.” (Qs Al-Saffat ayat 102).
Begitu juga ucapan Nabi Musa saat beliau berjanji kepada Nabi Khidir untuk patuh kepada semua arahannya sepanjang perjalanan menuntut ilmu. Nabi Musa berkata:
“Insya Allah engkau akan mendapatiku sebagai orang yang bersabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun.” (Qs Al-Kahfi ayat 69).
Kalimat ini kemudiannya diwariskan kepada Nabi Muhammad Saw. Allah memerintahkan Beliau untuk selalu mengucapkan insya Allah setiapkali berjanji akan melakukan sesuatu di masa depan.
Allah berfirman: “Dan jangan sekali-kali engkau (Muhammad) mengatakan: ‘Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini esok’, kecuali (dengan menyebut): insya Allah…” (Qs Al-Kahfi ayat 23-24)
Menurut Ibn Jarir Al-Tabari, ayat ini berisi pengajaran adab untuk Nabi Saw. Beliau dilarang untuk memastikan apa yang akan terjadi di masa depan melainkan dengan menyandarkannya kepada kehendak Allah. Sebab segala sesuatu hanya bisa terjadi jika dikehendaki oleh Allah Swt. Ajaran ini tentu saja bukan hanya untuk Beliau saja. Akan tetapi, adab ini juga berlaku untuk seluruh umat Beliau hingga akhir zaman. Seorang mukmin yang menyadari hakikat dirinya sebagai hamba yang lemah tidak pernah berjanji melainkan dengan menyebut insya Allah.
Makna insya Allah
Jadi, kita bisa melihat bahwa kalimat insya Allah merupakan sunnah nabi-nabi terdahulu yang diwariskan kepada umat Nabi Muhammad Saw. Justru, kalimat ini bukan perkara ringan, malah mengandungi makna yang sangat penting untuk disedari. Secara harfiah, kalimat insya Allah bermakna “jika Allah menghendaki”. Ucapan ini melambangkan kesadaran hamba akan hakikat dirinya yang serba kekurangan dan jahil. Sekaligus mengiktiraf kekuasaan Allah Swt yang Maha Kuasa dalam menentukan setiap yang berlaku di alam semesta ini.
Sepandai apapun seorang manusia, ia hanya boleh merencanakan dan berharap. Allah juga yang akan menentukan apakah rencana dan harapan itu bisa terlaksana atau tidak? Ucapan insya Allah ini mencerminkan pengakuan atas kelemahan diri dan ketergantungan kepada belas kasih kepada Tuhannya agar selalu membantu dalam setiap keinginan dan niat yang datang dari diri seorang hamba. Siapa yang selalu menyadari kelemahan dirinya, Allah akan selalu hadir dalam hidupnya. Dan siapa yang merasa dirinya serba cukup dan berkuasa atas segalanya, ia akan lupa diri dan berakhir seperti Firaun dan Namruz yang mengaku diri sebagai tuhan.
Imam al-Syafi‘i berkata: “Kelemahan adalah sifat manusia yang nyata. Barangsiapa yang selalu menyadari sifat ini, dia akan mampu beristiqamah dalam beribadah kepada Allah.”
Kekeliruan
Jelaslah, ucapan insya Allah sama sekali bukan alat untuk melepaskan tanggung jawab atau alasan untuk tidak menepati janji. Sebagai seorang muslim, janji adalah hutang yang harus kita tunaikan. Ucapan ini juga bukan kalimat alternatif untuk menolak secara halus permintaan pihak yang ingin kita jaga hatinya. Sebaliknya, insya Allah lebih sesuai difahami sebagai kata-kata jaminan bahwa janji yang telah terucap akan akan terlaksana dengan baik. Sebab siapa yang berjanji dengan niat sungguh-sungguh untuk melaksanakannya, sambil menyerahkan perkara itu kepada Allah, bantuan dari Allah akan datang untuk mewujudkan janji tersebut.
Dalam hadis Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah Saw pernah bercerita: “Nabi Sulaiman bin Dawud berkata: ‘Malam ini aku akan mendatangi 90 orang isteri-isteriku. Setiap dari mereka pasti akan melahirkan seorang pejuang di jalan Allah.’
“Malaikat berkata kepadanya: ‘katakanlah insya Allah.’ Namun Nabi Sulaiman tidak mengucapkan kalimat ini. Akhirnya, tidak ada seorangpun daripada isteri-isterinya itu yang melahirkan anak. Hanya seorang isteri yang melahirkan, namun anak itu cacat dan tidak sempurna.”
Bersabda Nabi Saw: “Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, andai beliau mengucapkan: insya Allah, niscaya isteri-isterinya itu akan melahirkan anak-anak yang berjuang di jalan Allah.”
Berkata Ibn Battal Al-Maliki dalam Syarh Al-Bukhari: “Hadis ini mengandungi pengajaran bahwa barangsiapa yang mengucapkan insya Allah, sambil menyadari kelemahan dirinya dan meminta bantuan dari Allah, maka besar kemungkinan ia akan memperolehi apa yang diharapkannya.”
Maka menjadi kewajiban kita merubah kekeliruan ini dengan memulainya dengan diri kita. Pastikan selalu kalimat insya Allah diucapkan setiapkali berjanji. Setelah itu berusahalah dengan semua upaya untuk menepati janji itu sambil meminta bantuan daripada Allah Swt. Jika semua ini kita lakukan, maka bantuan dari Allah akan sentiasa mengalir untuk kita. Kalau bukan kita yang merubah persepsi negatif tentang Islam dan kaum muslimin, maka siapa lagi? Wallahu a’lam.
Saat Nabi Ibrahim menyampaikan perintah Allah untuk menyembelih Nabi Ismail, anak yang saleh ini berkata: “Wahai Ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang bersabar.” (Qs Al-Saffat ayat 102).
Begitu juga ucapan Nabi Musa saat beliau berjanji kepada Nabi Khidir untuk patuh kepada semua arahannya sepanjang perjalanan menuntut ilmu. Nabi Musa berkata:
“Insya Allah engkau akan mendapatiku sebagai orang yang bersabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun.” (Qs Al-Kahfi ayat 69).
Kalimat ini kemudiannya diwariskan kepada Nabi Muhammad Saw. Allah memerintahkan Beliau untuk selalu mengucapkan insya Allah setiapkali berjanji akan melakukan sesuatu di masa depan.
Allah berfirman: “Dan jangan sekali-kali engkau (Muhammad) mengatakan: ‘Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini esok’, kecuali (dengan menyebut): insya Allah…” (Qs Al-Kahfi ayat 23-24)
Menurut Ibn Jarir Al-Tabari, ayat ini berisi pengajaran adab untuk Nabi Saw. Beliau dilarang untuk memastikan apa yang akan terjadi di masa depan melainkan dengan menyandarkannya kepada kehendak Allah. Sebab segala sesuatu hanya bisa terjadi jika dikehendaki oleh Allah Swt. Ajaran ini tentu saja bukan hanya untuk Beliau saja. Akan tetapi, adab ini juga berlaku untuk seluruh umat Beliau hingga akhir zaman. Seorang mukmin yang menyadari hakikat dirinya sebagai hamba yang lemah tidak pernah berjanji melainkan dengan menyebut insya Allah.
Makna insya Allah
Jadi, kita bisa melihat bahwa kalimat insya Allah merupakan sunnah nabi-nabi terdahulu yang diwariskan kepada umat Nabi Muhammad Saw. Justru, kalimat ini bukan perkara ringan, malah mengandungi makna yang sangat penting untuk disedari. Secara harfiah, kalimat insya Allah bermakna “jika Allah menghendaki”. Ucapan ini melambangkan kesadaran hamba akan hakikat dirinya yang serba kekurangan dan jahil. Sekaligus mengiktiraf kekuasaan Allah Swt yang Maha Kuasa dalam menentukan setiap yang berlaku di alam semesta ini.
Sepandai apapun seorang manusia, ia hanya boleh merencanakan dan berharap. Allah juga yang akan menentukan apakah rencana dan harapan itu bisa terlaksana atau tidak? Ucapan insya Allah ini mencerminkan pengakuan atas kelemahan diri dan ketergantungan kepada belas kasih kepada Tuhannya agar selalu membantu dalam setiap keinginan dan niat yang datang dari diri seorang hamba. Siapa yang selalu menyadari kelemahan dirinya, Allah akan selalu hadir dalam hidupnya. Dan siapa yang merasa dirinya serba cukup dan berkuasa atas segalanya, ia akan lupa diri dan berakhir seperti Firaun dan Namruz yang mengaku diri sebagai tuhan.
Imam al-Syafi‘i berkata: “Kelemahan adalah sifat manusia yang nyata. Barangsiapa yang selalu menyadari sifat ini, dia akan mampu beristiqamah dalam beribadah kepada Allah.”
Kekeliruan
Jelaslah, ucapan insya Allah sama sekali bukan alat untuk melepaskan tanggung jawab atau alasan untuk tidak menepati janji. Sebagai seorang muslim, janji adalah hutang yang harus kita tunaikan. Ucapan ini juga bukan kalimat alternatif untuk menolak secara halus permintaan pihak yang ingin kita jaga hatinya. Sebaliknya, insya Allah lebih sesuai difahami sebagai kata-kata jaminan bahwa janji yang telah terucap akan akan terlaksana dengan baik. Sebab siapa yang berjanji dengan niat sungguh-sungguh untuk melaksanakannya, sambil menyerahkan perkara itu kepada Allah, bantuan dari Allah akan datang untuk mewujudkan janji tersebut.
Dalam hadis Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah Saw pernah bercerita: “Nabi Sulaiman bin Dawud berkata: ‘Malam ini aku akan mendatangi 90 orang isteri-isteriku. Setiap dari mereka pasti akan melahirkan seorang pejuang di jalan Allah.’
“Malaikat berkata kepadanya: ‘katakanlah insya Allah.’ Namun Nabi Sulaiman tidak mengucapkan kalimat ini. Akhirnya, tidak ada seorangpun daripada isteri-isterinya itu yang melahirkan anak. Hanya seorang isteri yang melahirkan, namun anak itu cacat dan tidak sempurna.”
Bersabda Nabi Saw: “Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, andai beliau mengucapkan: insya Allah, niscaya isteri-isterinya itu akan melahirkan anak-anak yang berjuang di jalan Allah.”
Berkata Ibn Battal Al-Maliki dalam Syarh Al-Bukhari: “Hadis ini mengandungi pengajaran bahwa barangsiapa yang mengucapkan insya Allah, sambil menyadari kelemahan dirinya dan meminta bantuan dari Allah, maka besar kemungkinan ia akan memperolehi apa yang diharapkannya.”
Maka menjadi kewajiban kita merubah kekeliruan ini dengan memulainya dengan diri kita. Pastikan selalu kalimat insya Allah diucapkan setiapkali berjanji. Setelah itu berusahalah dengan semua upaya untuk menepati janji itu sambil meminta bantuan daripada Allah Swt. Jika semua ini kita lakukan, maka bantuan dari Allah akan sentiasa mengalir untuk kita. Kalau bukan kita yang merubah persepsi negatif tentang Islam dan kaum muslimin, maka siapa lagi? Wallahu a’lam.
No comments:
Post a Comment