Tuesday, 8 November 2011

Malaria mulai kebal Obat

Malaria masih menjadi masalah besar di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, badan kesehatan dunia atau WHO mencatat kasus terkait malaria terkonsentrasi di kawasan timur sepert Sulawesi, Maluku, Papua, Nusa Tenggara, dan Kalimantan. WHO memerkirakan ada 500 juta orang terjangkit malaria dengan angka kematian mencapai satu juta orang setiap tahun. Yang menjadi persoalan, parasit penyebab malaria kini kebal terhadap hampir semua obat-obatan yang ada. Melihat kondisi tersebut, Geoff McFadden, seorang ilmuwan asal Australia mengembangkan penelitian tentang penyembuhan penyakit malaria dengan obat-obatan dan herbisida baru. Ia menunjukkan bahwa parasit malaria pada awalnya seperti organisme tumbuhan yang hidup dengan fotosintesis. "Kami menemukan jejak genetis utama yang mirip metabolisme tanaman pada parasit malaria," ucapnya di acara 'Seminar Malaria: The Plant Connection', di kantor Kedutaan Besar Australia.

Parasit malaria termasuk parasitic plants, namun tidak memiliki klorofil sehingga tidak bisa berfotosintesis. Parasit ini tumbuh di dalam tubuh nyamuk. Penularan terjadi ketika nyamuk menggigit tubuh manusia melalui liur yang masuk ke pembuluh darah. McFadden menjelaskan, untuk membasmi parasit itu butuh banyak obat yang kemudian dimodifikasi, sehingga bisa tahu obat apa yang paling bagus untuk membutuh parasit tersebut. Menurutnya, temuan ini penting untuk memberi cara baru memerangi penyakit malaria. "Kami menemukan bahwa beberapa senyawa herbisida tidak beracun bagi manusia, bisa memerangi malaria," ujarnya.

Presiden Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Profesor Sangkot Marzuki, menambahkan, parasit malaria menjadi berbahaya karena sudah resisten terhadap obat-obatan. "Muncul resistensi di perbatasan antara Thailand dan Kamboja. WHO sekarang fokus di tempat itu agar resistensi tidak menyebar. Kita patut bersyukur, belum muncul di Indonesia," ujarnya. Saat ini, Prof Sangkot menambahkan, obat yang digunakan kementrian kesehatan untuk mengatasi malaria hanya satu yaitu Artemisinin Combination Therapis (ACT). Obat ini paling efektif dan murah. "Resistensi memang cepat sekali menyebar, walaupun saat ini ACT masih efektif tapi itu obat satu-satunya, kalau itu tidak berfungsi lagi bisa bahaya," katanya. Menurutnya, hasil penelitian McFadden bisa menjadi alternatif untuk memerangi malaria di masa kini. "Pemerintah dan pabrik-pabrik obat harusnya berkecimpung dalam pengembangan obat baru seperti ini, karena idealnya kita ingin minum obat yang sekali minum bisa menyembuhkan," McFadden menambahkan.

No comments:

Post a Comment