Monday, 3 October 2011

Naomi Wolf: Bebaskan Kaum Wanita

Ada dua citraan atas dua dunia yang berbeda dalam urutan teratas dan terbawah daftar "Global Women's Progress Report" tahun 2011 yang dipersiapkan oleh majalah Newsweek. Pada urutan teratas - "Tempat Terbaik Bagi Perempuan" - terdapat negara-negara yang sudah bisa diduga bisa masuk dalam daftar: Islandia dan negara-negara Skandinavia, Belanda, Swiss dan Kanada. Di beberapa negara itu, ada beberapa kedudukan yang perlu diperhatikan selepas tahun 1990an yang menyangkut lima kategori survei: peradilan, kesehatan, pendidikan, ekonomi dan politik. Di Amerika Serikat, perempuan memiliki pendidikan lebih tinggi daripada kaum lelaki. Di Turki, pelaku kekerasan dalam rumah tangga dilarang berada dalam rumah dan dilacak dengan monitor elektronik. Sedangkan Denmark dan Australia memilih perempuan sebagai perdana menteri.

Kini, mari berpaling ke bagian bumi yang lain, yakni, "Tempat Terburuk Bagi Perempuan." Chad adalah nerakanya. Perempuan nyaris "tak memiliki hak hukum" di negeri itu. Bahkan, gadis berusia 10 tahun sudah sah dinikahi. Sama seperti Nigeria, negeri terburuk nomor tujuh di dunia bagi perempuan. Sebagian besar perempuan di Mali, negeri terburuk kelima bagi perempuan, mengalami trauma akibat sunat. Sementara itu di Kongo, 1.100 orang perempuan diperkosa tiap hari. Seorang istri bebas dipukuli kapan pun suaminya mau di Yaman. Meski keberadaan kedua belahan dunia itu nyata, mereka tak lagi jadi berita. Para ahli bidang pembangunan dan kelompok pembela Hak Asasi Manusia telah menyuarakan pentingnya menegakkan keadilan di negeri-negeri itu selama bertahun-tahun. Namun, penindasan sistemik atas kaum perempuan itu biasanya muncul hanya karena ingin minta dikasihani: kita tak perlu mengamini kebijakan yang tak layak dan tak mencerahkan ini. Beberapa ilmuwan di bidang pembangunan telah mulai menyiapkan kasus lebih kuat: penindasan terhadap perempuan melemahkan upaya suatu negara untuk ke luar dari kemiskinan.

Namun, data dalam daftar yang disiarkan oleh Newsweek itu menunjukkan bahwa kita perlu bingkai lebih kuat dalam melihat masalah di atas. Ketika negara-negara miskin memilih menindas kaum perempuan, mereka dengan kata lain telah memilih terus berkubang dalam kemiskinan. Penindasan terhadap perempuan adalah masalah moral. Tapi, hal itu juga patut dipandang sebagai sebuah pilihan yang dibuat oleh banyak negara demi kenyamanan "kultural" jangka pendek dengan mengorbankan perkembangan ekonomi dan sosial jangka panjang. Tentu saja bukan hal yang secara politis benar bahwa negara-negara miskin tetap terjerat dalam derita karena membikin keputusan yang salah. Namun, banyak dari negara-negara itu juga patut dituntut bertanggung jawab atas kemalangan yang telah menimpa mereka sendiri. Pastinya, berikut adalah beberapa faktor yang menyebabkan mereka tenggelam dalam kemiskinan: kolonialisme, kelaparan, buta huruf, ketiadaan kepemilikan properti, dan rawan terdampak kekerasan negara. Tapi, bagaimana pula kita bisa menaruh kesalahan pada faktor-faktor termaksud belaka sementara tetap menutup mata pada semacam 'kolonialisme' jenis lain yang menindas perempuan di rumah dan institusi negara?

Ketika negara-negara termiskin, yang sebagian besar terletak di Afrika atau menanggung populasi Muslim terbesar, memilih memelihara atau bahkan mengeluarkan kebijakan yang menindas perempuan, mereka secara tak langsung telah memilih mengalami kemunduran dalam ekonomi. Kebungkaman negara-negara maju menjadi pertanda bahwa mereka menerima begitu saja penindasan atas perempuan kulit hitam atau cokelat. Daftar buatan Newsweek itu memperlihatkan fakta mengejutkan: perempuan terdidik mendorong kemakmuran. Banyak negara yang punya sejarah penjajahan dan tirani, sebagaimana pun negara-negara tanpa sumber daya alam berlimpah, telah memilih memberi jalan bagi kaum perempuan untuk mendapatkan pendidikan, selain juga hak atas hukum. Beberapa negara secara ekonomi masih biasa-biasa saja. Tapi, tak ada yang benar-benar miskin. Bahkan, ada yang ekonominya meningkat pesat. Tengok saja China, India, Malaysia, Indonesia, Brazil, Korea Selatan dan Turki.

Kesalahan tak dapat ditimpakan kepada kemandekan kultural berkenaan dengan status kaum perempuan yang rendah di negara-negara dalam daftar terburuk. Rumania, Portugal, Filipina dan India memperlakukan kaum perempuan secara lebih setara sekitar 50 hingga 100 tahun lalu. Di Pakistan, perkosaan dalam perkawinan (marital rape) kini tak lagi ilegal. Dalam setahun, 800 orang terbunuh. Jika kita pandai berhitung, kita bisa mulai menjalankan usaha. Jika kita tak hidup dalam ketakutan akan perkosaan dan pemukulan di rumah sendiri, kita bisa mengajak orang-orang sekomunitas untuk membuat sumur baru. Jika anak perempuan tak disunat ketika masih berumur tiga tahun dan menikahkannya ketika berumur 10 tahun, ia dapat bersekolah. Dan jika ia kemudian menikah dan punya anak, putera-puterinya akan mampu bersyukur hidup di tengah orang tua yang berpendidikan dan memiliki pekerjaan. Ibu yang berpendidikan dan ambisius bisa menciptakan banyak perbedaan.

Ini sejalan dengan perkataan Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton, di majalah itu: "Dunia perlu berpikir lebih strategis dan kreatif menggali potensi perempuan demi kemajuan. Banyak penelitian mengungkapkan bahwa perempuan yang punya kesempatan berdagang dan mengembangkan usaha memungkinkan munculnya pekerjaan baru dan meningkatkan pendapatan." Tapi di negara-negara dalam daftar terburuk, kaum perempuan yang tinggal di rumah secara sosial lebih berterima. Ini memicu menurunnya pendapatan rumah tangga. Sudah saatnya tak lagi menuntut negara-negara paling miskin melakukan hal istimewa untuk mengangkutnya ke luar dari kegetiran. Bebaskanlah kaum perempuan.
Naomi Wolf adalah aktivis dan kritikus sosial
Diterjemahkan dari laman www.project-syndicate.org

No comments:

Post a Comment