Mai Yamani baru meluncurkan buku terbaru yang berjudul "Cradle of Islam."
Diterjemahkan dari laman www.project-syndicate.org
Ada kontras yang tajam pada kematian dua tokoh besar dunia baru-baru ini: pemimpin Libya, Kolonel Muammar Khadafi, dan Putera Mahkota Saudi, Sultan bin Abdul Aziz. Yang pertama merupakan lelucon pamungkas, sementara yang terakhir adalah wujud gerontokrasi dekaden. Bagi bangsa Libya, kematian itu adalah pembebasan. Sementara bagi warga Arab Saudi, kematian itu menjadi kemandekan.
Namun, kematian sang Sultan di usia 86 tahun menandai awal periode gawat bagi ketakpastian urusan domestik serta luar negeri kerajaan Saudi. Selain itu, adik tiri Sultan bin Abdul Aziz, Raja Abdullah, 87, masih menjalani perawatan pasca operasi di Riyadh. Rezim itu kini berkarat dan sakit-sakitan.
Sementara itu, pergantian kekuasaan masih menjadi perdebatan. Pada kematian Sultan itu, ini merupakan kali pertama bagi kerajaan Saudi menunda penguburan demi memberi waktu bagi keluarga kerajaan menentukan penerus sang Sultan. Hal itu merupakan tanda terjadinya perselisihan di dalam keluarga (dan persesuaian serta kelanjutan sebuah dinasti yang berkuasa).
Stabilitas rezim Saudi kini bergantung pada kemampuannya menjaga kesatuan serta memungkinkan kegamblangan sistem pergantian kekuasaan yang diusungnya. Dengan kematian sang Putera Mahkota, perpecahan sesungguhnya mengancam keberlangsungan kerajaan itu (yang berkaitan pula dengan ekspor minyak) karena keluarga Al Saud yang berkuasa telah memiliki 22.000 anggota. Keadaan ini memberi ruang bagi meningkatnya sengketa di antara mereka yang lapar kedudukan.
Sang Sultan telah lama mati, yakni selama tiga tahun. Tentunya kematian politis. Pada bulan Juni lalu, ketika ia bertolak ke New York, AS, untuk berobat, para kaum muda Saudi berspekulasi di banyak laman Internet bahwa ia benar-benar meninggal.
Para penerus Abdullah, yang rata-rata berusia 80-90 tahun, mengingat lagi masa-masa akhir Uni Sovyet ketika satu pemimpin yang ringkih meneruskan jabatan pemimpin lain yang juga ringkih dalam periode singkat. Di Saudi, banyak yang melihat bahwa pola itu menular ke negeri itu.
Yang jauh lebih buruk, suksesi tak punya aturan jelas. Setelah Abdullah menempati takhta Fahd, yang pernah memimpin selama 23 tahun hingga ia akhirnya mangkat pada tahun 2005, ia menciptakan Dewan Kepatuhan. Dewan itu dianggap misterius dan menyerupai Dewan Kardinal di Vatikan. Namun di Arab Saudi, pembatasan tak sepenuhnya berdasar atas usia namun silsilah. Dewan Kepatuhan meliputi 43 pangeran keturunan Ibnu Saud, pendiri Kerajaan Saudi, dan anak-anak lelaki dari para saudara kandung Ibnu Saud yang telah tiada. Contohnya, putera-putera Raja Faisal.
Tapi, seiring dengan memburuknya kesehatan sang Sultan, Abdullah menyangkal dewan bentukannya dan menunjuk Pangeran Naif, menteri dalam negeri, sebagai wakil kedua. Dengan kata lain, akan ditunjuk sebagai Putera Mahkota. Namun, Naif, kini 82 tahun, diketahui menderita leukemia.
Kekayaan sang Sultan ditaksir berjumlah US$270 miliar. Ia membagikan hartanya kepada para anaknya sebelum ajal menjemput demi menguatkan posisi politik mereka di gelanggang para pangeran. Pada praktiknya, setiap pangeran senior telah menempatkan para putera kesayangan mereka pada posisi-posisi penting di dalam Kerajaan. Sultan memberi jabatan di kementerian pertahanan bagi Khaled, anaknya. Bandar, adik Khaled, ditunjuk sebagai kepala Dewan Keamanan Intelijen. Abdullah mengamankan posisi kepala National Guard. Calon Putera Mahkota, Naif, telah menjanjikan anaknya, Muhammad, jabatan Menteri Dalam Negeri.
Pendeknya, alih-alih inovasi Abdullah dalam proses suksesi, sudah jadi rahasia umum bahwa tak ada yang mampu menjamin kelancaran transisi kekuasaan kepada generasi yang lebih muda. Kisah perjuangan suksesi keluarga Al Saud tak lagi menjadi bisik-bisik belaka. Internet telah membuka jendela bagi khalayak luas untuk mengetahui rencana, ambisi dan bisnis keluarga kerajaan.
Trah Al Saud menyerupai bisnis keluarga, yang dimulai sejak 1932. Ibnu Saud berhasil menaklukkan dan menyatukan wilayah Semenanjung Arab yang luas. Ia lantas menempelkan nama keluarga ke jazirah itu, dan kemudian memisahkan serta mengontrol sepupu serta saudara-saudaranya yang lain demi memuluskan garis suksesi yang tegas yang jatuh kepada anak-anaknya. Setelah Ibnu Saud wafat, anak-anaknya, meski tak sepenuhnya kompak, cukup bisa bekerja sama demi menjaga pemasukan. Keadaan itu tak berlanjut di era para pangeran yang berjumlah ribuan. Berbarengan dengan sirnanya generasi tua, para keturunannya kini bahkan berseteru dengan terbuka.
Dengan rasio pangeran dan masyarakat umum satu berbanding seribu (bandingkan dengan Inggris yang mencatat satu berbanding lima juta), tantangan untuk mengelola privilese, gaji dan lapangan kerja bagi para pangeran kian sengit. Para anggota kerajaan diuntungkan dengan insentif seumur hidup dan berbagai posisi di instansi pemerintah. Posisi-posisi itu memungkinkan mereka mengamankan kontrak dan menerima komisi.
Rezim Saudi terpecah-belah. Legitimasinya kini dipertanyakan. Gejolak sektarian meningkat. Lebih lanjut lagi, sementara pendapatan dari ekspor minyak melesat tajam, negeri-negeri di sekitar Saudi tengah mengobarkan api revolusi.
Dalam waktu dekat, Naif yang bertangan besi, akan mendorong Kerajaan ke jurang penindasan. Salah satunya dengan memperkuat posisi para ulama Wahabi di lingkaran kekuasaan. Gelontoran uang yang didukung oleh ajaran-ajaran Wahabi akan disiapkan demi membungkam protes. Sementara Abdullah setidaknya pernah menyinggung masalah reformasi (meski kenyataan berkata lain), Naif sama sekali tak mengungkit masalah itu.
Penyangkalan masih menjadi pola pikir dominan para penguasa Saudi. Anggota kerajaan percaya bahwa terpeliharanya negeri mereka sebagai tanah suci umat Islam memberi memberi status khusus di dunia Arab. Dengan demikian, revolusi takkan menimpa mereka. Dan jika ada yang mencoba, mereka akan menuruti nasihat Naif: "Apa yang kita rebut dengan pedang, akan kita pertahankan dengan pedang."
Di seluruh wilayah Arab, para pemuda Arab berupaya membawa negeri mereka ke arah reformasi dan liberalisasi. Arab Saudi, sayangnya, bergerak ke arah yang berlawanan. [VN]
Namun, kematian sang Sultan di usia 86 tahun menandai awal periode gawat bagi ketakpastian urusan domestik serta luar negeri kerajaan Saudi. Selain itu, adik tiri Sultan bin Abdul Aziz, Raja Abdullah, 87, masih menjalani perawatan pasca operasi di Riyadh. Rezim itu kini berkarat dan sakit-sakitan.
Sementara itu, pergantian kekuasaan masih menjadi perdebatan. Pada kematian Sultan itu, ini merupakan kali pertama bagi kerajaan Saudi menunda penguburan demi memberi waktu bagi keluarga kerajaan menentukan penerus sang Sultan. Hal itu merupakan tanda terjadinya perselisihan di dalam keluarga (dan persesuaian serta kelanjutan sebuah dinasti yang berkuasa).
Stabilitas rezim Saudi kini bergantung pada kemampuannya menjaga kesatuan serta memungkinkan kegamblangan sistem pergantian kekuasaan yang diusungnya. Dengan kematian sang Putera Mahkota, perpecahan sesungguhnya mengancam keberlangsungan kerajaan itu (yang berkaitan pula dengan ekspor minyak) karena keluarga Al Saud yang berkuasa telah memiliki 22.000 anggota. Keadaan ini memberi ruang bagi meningkatnya sengketa di antara mereka yang lapar kedudukan.
Sang Sultan telah lama mati, yakni selama tiga tahun. Tentunya kematian politis. Pada bulan Juni lalu, ketika ia bertolak ke New York, AS, untuk berobat, para kaum muda Saudi berspekulasi di banyak laman Internet bahwa ia benar-benar meninggal.
Para penerus Abdullah, yang rata-rata berusia 80-90 tahun, mengingat lagi masa-masa akhir Uni Sovyet ketika satu pemimpin yang ringkih meneruskan jabatan pemimpin lain yang juga ringkih dalam periode singkat. Di Saudi, banyak yang melihat bahwa pola itu menular ke negeri itu.
Yang jauh lebih buruk, suksesi tak punya aturan jelas. Setelah Abdullah menempati takhta Fahd, yang pernah memimpin selama 23 tahun hingga ia akhirnya mangkat pada tahun 2005, ia menciptakan Dewan Kepatuhan. Dewan itu dianggap misterius dan menyerupai Dewan Kardinal di Vatikan. Namun di Arab Saudi, pembatasan tak sepenuhnya berdasar atas usia namun silsilah. Dewan Kepatuhan meliputi 43 pangeran keturunan Ibnu Saud, pendiri Kerajaan Saudi, dan anak-anak lelaki dari para saudara kandung Ibnu Saud yang telah tiada. Contohnya, putera-putera Raja Faisal.
Tapi, seiring dengan memburuknya kesehatan sang Sultan, Abdullah menyangkal dewan bentukannya dan menunjuk Pangeran Naif, menteri dalam negeri, sebagai wakil kedua. Dengan kata lain, akan ditunjuk sebagai Putera Mahkota. Namun, Naif, kini 82 tahun, diketahui menderita leukemia.
Kekayaan sang Sultan ditaksir berjumlah US$270 miliar. Ia membagikan hartanya kepada para anaknya sebelum ajal menjemput demi menguatkan posisi politik mereka di gelanggang para pangeran. Pada praktiknya, setiap pangeran senior telah menempatkan para putera kesayangan mereka pada posisi-posisi penting di dalam Kerajaan. Sultan memberi jabatan di kementerian pertahanan bagi Khaled, anaknya. Bandar, adik Khaled, ditunjuk sebagai kepala Dewan Keamanan Intelijen. Abdullah mengamankan posisi kepala National Guard. Calon Putera Mahkota, Naif, telah menjanjikan anaknya, Muhammad, jabatan Menteri Dalam Negeri.
Pendeknya, alih-alih inovasi Abdullah dalam proses suksesi, sudah jadi rahasia umum bahwa tak ada yang mampu menjamin kelancaran transisi kekuasaan kepada generasi yang lebih muda. Kisah perjuangan suksesi keluarga Al Saud tak lagi menjadi bisik-bisik belaka. Internet telah membuka jendela bagi khalayak luas untuk mengetahui rencana, ambisi dan bisnis keluarga kerajaan.
Trah Al Saud menyerupai bisnis keluarga, yang dimulai sejak 1932. Ibnu Saud berhasil menaklukkan dan menyatukan wilayah Semenanjung Arab yang luas. Ia lantas menempelkan nama keluarga ke jazirah itu, dan kemudian memisahkan serta mengontrol sepupu serta saudara-saudaranya yang lain demi memuluskan garis suksesi yang tegas yang jatuh kepada anak-anaknya. Setelah Ibnu Saud wafat, anak-anaknya, meski tak sepenuhnya kompak, cukup bisa bekerja sama demi menjaga pemasukan. Keadaan itu tak berlanjut di era para pangeran yang berjumlah ribuan. Berbarengan dengan sirnanya generasi tua, para keturunannya kini bahkan berseteru dengan terbuka.
Dengan rasio pangeran dan masyarakat umum satu berbanding seribu (bandingkan dengan Inggris yang mencatat satu berbanding lima juta), tantangan untuk mengelola privilese, gaji dan lapangan kerja bagi para pangeran kian sengit. Para anggota kerajaan diuntungkan dengan insentif seumur hidup dan berbagai posisi di instansi pemerintah. Posisi-posisi itu memungkinkan mereka mengamankan kontrak dan menerima komisi.
Rezim Saudi terpecah-belah. Legitimasinya kini dipertanyakan. Gejolak sektarian meningkat. Lebih lanjut lagi, sementara pendapatan dari ekspor minyak melesat tajam, negeri-negeri di sekitar Saudi tengah mengobarkan api revolusi.
Dalam waktu dekat, Naif yang bertangan besi, akan mendorong Kerajaan ke jurang penindasan. Salah satunya dengan memperkuat posisi para ulama Wahabi di lingkaran kekuasaan. Gelontoran uang yang didukung oleh ajaran-ajaran Wahabi akan disiapkan demi membungkam protes. Sementara Abdullah setidaknya pernah menyinggung masalah reformasi (meski kenyataan berkata lain), Naif sama sekali tak mengungkit masalah itu.
Penyangkalan masih menjadi pola pikir dominan para penguasa Saudi. Anggota kerajaan percaya bahwa terpeliharanya negeri mereka sebagai tanah suci umat Islam memberi memberi status khusus di dunia Arab. Dengan demikian, revolusi takkan menimpa mereka. Dan jika ada yang mencoba, mereka akan menuruti nasihat Naif: "Apa yang kita rebut dengan pedang, akan kita pertahankan dengan pedang."
Di seluruh wilayah Arab, para pemuda Arab berupaya membawa negeri mereka ke arah reformasi dan liberalisasi. Arab Saudi, sayangnya, bergerak ke arah yang berlawanan. [VN]
No comments:
Post a Comment