Tuesday, 12 July 2011

Hutan Nantu, Kekayaan Dunia dari Gorontalo

Kawasan Hutan Nantu, 5 Terbaik Hutan di ASEAN, Disebut juga
Wallacea, karena merupakan Zona Transisi dan Campuran Khas
Fauna Asia dan Australia
Hutan Nantu, merupakan Rimba Purba Kaya Flora Fauna Endemik. Seperti dalam film Jurassic Park, Pohon besar menjulang tinggi yang dikelilingi berbagai tanaman merambat, juga rotan dan akar beringin. Pohon Rao raksasa tumbuh dan saling berdekatan satu sama lain, di selanya tumbuh tanaman rimba lainnya, tidak menyisakan ruang bagi sinar matahari jatuh ke tanah. Lembab dan becek mempercepat pembusukan daun dan juga kayu lapuk. Barisan semut tak henti berlalu membawa potongan daun dan bangkai serangga mati, cendawan merah lunak menempel di cabang pohon yang membusuk, jamur ini berpendar malam hari. Suara serangga dan hewan lain bersahutan, sesekali suara burung Julang Sulawesi (Rhyticeros Cassidix) menyela. Hutan hujan tropis yang asli ini di hutan Gorontalo berada di Nantu. Hutan ini merupakan kekayaan dunia yang sangat penting, karena nantu merupakan salah satu dari sedikit hutan di Sulawesi yang masih utuh. Pohon raksasa Rao (Dracontomelum Dao), Nantu (Nyatoh), pohon Inggris (Eucalyptus Deglupta) beradu tinggi dengan rotan batang yang merambatinya, tidak terhitung kehidupan liar yang di bawahnya.

Suaka Marga Satwa Nantu merupakan kawasan hutan seluas 31.000 ha yang menjadi kekayaan dunia. Di kawasan ini merupakan bagian dari bio-geografi Wallacea yang kaya keanekaragamanhayatinya. Nantu merupakan zona transisi dan campuran antara fauna Asia dan Australia. Di rimba ini hidup secara baik satwa yang tidak ada di bagian dunia lain seperti Anoa (Bubalus Depressicornis), Babi rusa (Babyroussa babbyrussa), Monyet Sulawesi (Macaca Heckii), Tarsius (Tarsius Spectrum), Babi Hutan (Sus Celebensis). Di hutan ini juga hidupan bagi 90 spesies burung, yang 35 jenis diantaranya adalah endemik. Hutan ini juga menjadi penyangga bagi ketersediaan air bagi puluhan ribu masyarakat yang mendiami daerah di bawahnya. Untuk menuju hutan Nantu, perjalanan dimulai dari ujung desa Mohiolo. Di sini ada perahu yang akan mengantarkan pengunjung menyusuri sungai Paguyaman yang keruh. Selama 2,5 jam disuguhi kehidupan burung air yang eksotik. Bangau putih mendominasi, mereka berjemur di bebatuan pinggir sungai, di atas pohon tumbang hingga bertengger di semak perdu kanan-kiri sungai,bebek telaga yang biasa disebut Duwiwi juga senang bergerombol di pinggiran sungai. Tak terhitung jenis lain seperti Raja Udang, juga Bangau hitam berleher panjang yang sulit dijumpai dengan mudah disaksikan di sini, juga betet kelapa punggung biru hingga burung pendeta.

Semakin mendekati hutan, banyak dijumpai tanah kosong yang hanya ditumbuhi rerumputan yang tidak memiliki nilai ekonomi. Sepertinya setelah masyarakat mengambil kayu, lahan dibiarkan terlantar tak terurus. Tidak semua jalur sungai mulus dilalui, ada bagian yang harus dangkal dan harus diwaspadai pengemudi ketinting. Hutan Nantu merupakan tempat yang baik bagi perkembangan Anoa, Babi rusa dan satwa endemik Sulawesi lainnya. Di Nantu ini bisa dengan mudah dijumpai satwa tersebut. Babi rusa sejak 1996 dinyatakan langka dan dlindungi pememrintah Indonesia dan hukum internasional karena sudah masuk dalam buku merah IUCN dab CITES.Hewan ini sangat unik, memiliki taring yang tumbuh dari hidung dan bengkok ke belakang di depan matanya. Menurut Abdul Harus Mustari, dosen IPB Bogor, hutan Nantu merupakan tempat terbaik bagi satwa endemik, khususnya Babi rusa di daratan Sulawesi. Hal ini terjadi karena ada keunikan alam yang dimilikinya, air panas yang mengandung sulphur dan bergaram, padahal daerah ini letaknya 40 km dari garis pantai. Di tempat ini merupakan tempat yang terbaik untuk menyaksikan satwa langka yang menjadi maskot Sulawesi.

Yang unik juga, rotan berbagai jenis tumbuh subur. Rotan batang yang paling banyak dijumpai menjulur berpuluh meter di atas pohon yang disandarinya. Pohon rotan susu yang memiliki duri rapat juga melintang diantara pepohonan. Selain itu bisa dengan mudah melihat rotan Tohiti yang memiliki nilai ekonomis tinggi, rotan ini dikenal warna dan kehalusannya. Sebenarnya yang paling pas daerah ini dinamakan suaka marga satwa Rao karena banyaknya pohon Rao raksasa. Batangnya demikian besar menjadi daya tarik siapa saja yang datang di hutan ini. Keunikan dan kekayaan keanekaragaman hayati ini telah menarik sejumlah broadcasting internasional untuk mengabadikannya, tercatat BBC London, NHK Jepang, TV Perancis telah mengabadikannya, demikian juga media nasional.

Dr Lynn Marion Clayton
Penjaga Hutan Nantu dari Inggris
Hutan Nantu merupakan laboratorium alam terlengkap dan terbaik dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya satwa dan flora endemik Sulawesi. Hutan hujan tropis ini masih perawan, tempat hidup satwa khas Sulawesi. Masyarakat, sekolah, perguruan tinggi dan peneliti Gorontalo harus mampu menjadikannya sebagai pusat studi lingkungan yang baik, masih banyak spesies yang belum ditemukan dan dipelajari di kawasan ini. Ini merupakan tantangan pemerintah dan masyarakat ke depan. Babi Rusa Gorontalo Dikenal Eropa Sejak 1650. Ternyata para peneliti Eropa sudah mengenal Babi Rusa (Babyroussa babbyrussa) sejak abad 17. Pada tahun 1658 seorang warga Belanda bernama Piso dalam bahasa Latin membuat ilustrasi tubuh babi rusa dengan hanya bermodalkan potongan tengkorak yang ditemukan. Meski ilustrasi tersebut jauh dari tubuh Babi rusa sesungguhnya, namun sepotong tengkorak tersebut telah menjadi pembuka studi babi rusa di Eropa.

Alfred Russel Wallace, sang ilmuwan pengelana bergembira saat kapalnya merapat di Sulawesi. Informasi yang didapat tentang banyaknya satwa dan tumbuhan di pulau ini menggugahnya untuk menyaksikan langsung keberadaannya. Untuk pertama kali ia melihat babi rusa di hutan Likupang Minahasa pada tahun 1860. Ia mampu mendekomentasikan visual hewan endemik Sulawesi ini, gambaran Piso tentang hewan ini kemudian disempurnakan setelah 200 tahun. Piso menggambarkan babi rusa sebagai hewan yang memiliki taring melengkung di depan matanya, tubuhnya langsing seukuran anjing kampung besar atau seekor rusa, bulunya seperti anjing pemburu yang berwarna keabu-abuan, hewan ini memiliki mulut dan kepala seperti babi pada umumnya dengan mata dan telinga mungil. Kuku dan kakinya mirip rusa, dengan ekor yang bergelung melingkar seperti spiral. Babi rusa ini digambarkan sebagai hewan liar yang berasal dari zaman purba.

Hewan Endemik Sulawesi, Babi Rusa
Rekaan tubuh yang berbekal sebuah tengkorak Babi rusa Piso ini menggelitik Lynn Marion Clayton, Doktor Eko-Biologi Babi rusa dari Oxford University, Inggris. Wanita ramah yang menghabiskan waktu 21 tahun di hutan Nantu, kawsaan gunung Boliyohuto ini mengtakan ekor Babi rusa tidak melingkar seperti spiral, melainkan lurus. Buku Babi rusa karya Piso merupakan rujukan tertua yang pernah ditemukan di Eropa. Buku ini ada di Leiden dan terkenal di Belanda dan juga Eropa. Hewan langka ini sejak dulu sudah menjadi daya tarik bagi peneliti dan ilmuwan Eropa, keunikan bentuk tubuhnya merupakan hal yang menarik. Sama seperti Anoa, Babi rusa merupakan satwa endemik yang tinggal di Sulawesi, daerah peralihan antara pengaruhi Asia dan Australia. Studi yang dilakukan oleh ilmuwan Indonesia tentang satwa ini relatif sedikit, justru yang paling banyak berasal dari hasil kerja bertahun-tahun Dr Lynn Clayton, dan banyak ilmuwan negeri ini yang merujuk hasil penelitiannya.

Pembantaian besar-besaran telah menyusutkan jumlah Babi rusa. Umumnya para pemburu memasang jerat di daerah yang biasa dilaluinya atau di pinggiran kolam Adudu. Sebelum ada pengawasan, setiap minggunya tidak kurang dari 20 ekor Babi rusa dibunuh di hutan Nantu, bangkainya dikirim ke Minahasa dan Manado untuk diperdagangkan. Seekornya hanya dihargai Rp150.000 di tangan pemburu, jumlah yang tidak seberapa dibandingkan nilai ilmiahnya. Tidak seperti babi hutan atau jenis lainnya, Babi rusa hanya beranak 1 sampai 2 ekor setiap melahirkan, tidak lebih. Sehingga perkembangannya sangat lambat. Perburuan liar telah menyurutkan populasinya di kawasan hutan Nantu. Saat menyusuri hutan menuju Adudu, banyak jejak binatang ditemukan di tanah yang lembab dan basah. Jemmy Kumolontang, staf Lynn Clayton yang mantan pemburu menjelaskan, jejak kaki babi rusa lebih membulat sementara babi hutan cenderung persegi.

Satwa ini tidak memiliki tempat tinggal (sarang) yang menetap, mereka berkeliaran di sepanjang hutan yang tidak jauh dari Adudu dan jika malam tiba memilih untuk tidur di sela-sela akar bawah pohon besar. Uniknya, satwa khas Sulawesi ini memiliki “kamar mandi” yang berbentuk kubangan berisi air. Di kolam seukuran tubuhnya ini Babi rusa mencampur air kencingnya dengan air dan menikmati kesesegarannya. Kebiasaannya setelah mandi, Babi huta akan menggosokkan tubuhnya yang penuh lumpur di pepohonan sebagai penanda wilayah jelajahnya. Hanya orang yang biasa mengamati hidup Babi rusa yang bisa melihat bekas gosokan tubuh hewan ini di batang pohon.

Di hutan Nantu yang menyimpan kekayaan alam tiada tara ini juga bisa saksikan bekas-bekas Babi rusa melahirkan. Betina yang akan melahirkan akan mengumpulkan potongan daun untuk dijadikan alas. Berbagai macam daun perdu dan semak, bahkan daun woka dipotong untuk dijadikan kasur. Di atas alas empuk ini bayi mungil Babi rusa lahir. “Babi rusa sangat peka, mereka tidak bisa hidup di daerah yang telah terbuka. Ini bedanya dengan babi hutan. Babi rusa hanya bisa tinggal di hutan yang masih terjaga keasliannya. Beruntunglah Gorontalo memiliki hutan Nantu yang masih menyimpan kekayaan hutan hujan tropis terlengkap di Sulawesi. Masyarakat harus menjaganya. [RA/Hu]

No comments:

Post a Comment