Monday, 20 August 2012

Mitos seputar Jenius

Sifat Jenius secara tradisional dilingkupi oleh sejumlah mitos yang menyesatkan. Mungkin orang-orang terintimidasi atau bahkan takut terhadap konsep jenius. Apapun dan bagaimanapun alasannya, mitos ini perlu diungkap, dibongkar dan dibuang jauh-jauh dari pemikiran kita.

PARA JENIUS MEMANG TERLAHIR

Ide ini sangat lazim, namun tidak benar. Mengapa? Genetika memang mempengaruhi hidup kita, tetapi tidak sepenuhnya menentukan hidup kita. Jika mitos ini benar, mengapa kita tidak memenjarakan saja anak para pembunuh massal sejak mereka dilahirkan? Dunia barangkali akan jauh lebih efisien dan kurang kacau -dan kurang menarik- jika orang bisa diklasifikasikan begitu mudahnya. Pendidikan, pengaruh sosial dan lingkungan, pengalaman, ini sama pentingnya dengan warisan genetik. Bahkan dengan materi genetik terbaik sekalipun, tanpa ada pengaruh sosial yang positif dan keterampilan-keterampilan yang dipelajari, seseorang tidak bisa mencapai kondisi jenius. Frasa "Para jenius memang Terlahir" digunakan sebagai suatu pembenaran untuk "KEMALASAN", sebuah alasan untuk tidak bekerja keras. Kenyataannya, kita semua terlahir lemah dan butuh bantuan. Bayi akan meninggal bila ditinggalkan tanpa perawatan selama seminggu. Disisi lain, bayi akan tersenyum bahagia dan tumbuh pesat bila dirawat secara layak. Para jenius dibentuk oleh orang-orang yang mencintainya: ibu, ayah, kakek-nenek, dan orang-orang dewasa lainnya yang menghabiskan hidupnya sembari berbagi tujuan, kebijaksanaan serta cintanya dengan sang cahaya dunia masa depan.

PARA JENIUS SUDAH TERLIHAT SEJAK MASA KANAK-KANAKNYA
Mitos ini muncul dari pencampur-adukan gagasan tentang prodigy dan jenius. Mitos ini menyiratkan bahwa apabila seseorang anak tidak dikenali sebagai jenius di masa kanak-kanaknya, maka dia bukanlah seorang jenius. Sebenarnya, prodigy-lah yang dikenali dimasa kanak-kanaknya, prodigy adalah seorang individu yang menunjukkan hasil-hasil setingkat orang dewasa dimasa kanak-kanaknya. Jenius itu berbeda.

  • Albert Einstein, yang belum bisa bicara sampai berusia tiga tahun, dulunya adalah seorang dyslexic (penyakit dyslexia-penyakit tidak mampu membaca dikarenakan adanya cacat otak) yang mengalami banyak sekali kesukaran semasa dia bersekolah.
  • Pablo Picasso, baru berhasil menyelesaikan sekolahnya dengan ayahnya didampingi ayahnya yang duduk didekatnya selama mata pelajaran di kelas.
  • Thomas Alfa Edison, beberapa kali mendapat nilai C (dibawah 60) untuk mata pelajaran fisika.
  • Robert Frost, menerbitkan buku pertamanya di usia tiga puluh delapan tahun.
  • Peter Roget, menciptakan kamus Thesaurus-nya yang terkenal setelah dia pensiun di usia tujuh puluh tahun.
  • Michailo Lomonosov, pendiri Universitas Moscow pernah dianggap buta huruf karena ketika itu dia dia tidak bisa membaca dalam bahasa Yunani dan Latin. Pada usia sembilan belas tahun, ketika dia datang ke Moscow dari sebuah desa yang jauh diwilayah utara "untuk belajar", dia terlebih dahulu harus menjalani Sekolah Dasar. bayangkan, di Indonesia, siswa Sekolah Dasar kelas 1 berumur 7 tahun, sedangkan Lomonosof berumur 19 tahun!



Bisakah orang dimasa Edison dan Einstein bersekolah memperkirakan bahwa kedua orang ini adalah calon jenius masa depan? Apakah ada di antara anak-anak berusia tujuh tahun yang menertawakan dan mengejek Lomonosov yang berusia sembilan belas tahun, ataupun para guru yang tersenyum masam kepadanya, pernah mengira bahwa mereka ketika itu sedang MENGHINA calon pendiri sains Rusia modern, "Universitas Satu Orang"?? TIDAK ! Dengan mempertimbangkan ini semua, akankah seseorang berani untuk meramalkan dimasa kini bahwa anak ataupun orang dewasa tertentu ini atau itu tidak akan menjadi seorang jenius ditahun-tahun mendatang? Untuk itu, marilah kita secara sadar merubah pernyataan, "Para jenius sudah terlihat sejak masa kanak-kanaknya", dan mempromosikan sebuah pernyataan baru, "Marilah kita mengenali seorang Jenius dalam setiap anak dan setiap orang."

PARA JENIUS ADALAH ORANG-ORANG UNGGUL YANG BERBAKAT DALAM SEGALA HAL
Ya, memang ada jenius-jenius seperti Leonardo da Vinci, Johan Wolfgang von Goethe, Benjamin Franklin, dan Lomonosov yang dianggap abadi baik dalam sains maupun seni. Tetapi ada begitu banyak yang lainnya, Ludwig Van Beethoven yang tuli, Braille dan Hellen Keller yang buta, yang secara meyakinkan menunjukan bahwa orang-orang yang tampaknya berada diluar batas pinggir sekalipun bisa menjadi jenius, apalagi anak yang berkembang secara normal atau bahkan anak yang berbakat seperti anda. Jadi, setiap anak dan setiap orang BISA MENJADI JENIUS. Sejarah menunjukkan bahwa setiap anak dan setiap orang memiliki peluang, peluang untuk bisa menjadi jenius.

PARA JENIUS ITU KEBETULAN
Sudut pandang ini berasal dari serendipitas, yakni ilmu tentang penemuan-penemuan secara kebetulan. Sebagai contoh,
Wilhelm Roentgen menemukan radioaktivitas ketika dia dengan agak ceroboh meninggalkan beberapa materi di film yang dibungkus dengan kertas hitam. Dia secara kebetulan mengembangkannya, dan menemukan bintik-bintik putih yang aneh di film yang dikembangkan itu. Itu berarti terdapat beberapa sinar yang tidak dikenal (sinar X) sedang menerobos kertas hitam yang biasanya tidak diterobos sinar-sinar biasa. Orang bisa mengatakan bahwa Roentgen beruntung, tetapi orang lainnya belum tentu menganggap ini sebagai penemuan yang bersifat kebetulan.

Pertimbangkanlah hal berikut ini,
Seberapa seringkah kejadiannya seorang normal bekerja dengan bahan-bahan radioaktif, dan punya film didekatnya, bahkan untuk membuat satu kesalahan seperti itu sekalipun? Roentgen adalah seorang peneliti. Dia memang akan sampai pada penemuan itu; entah lebih awal satu hari, atau satu hari sesudahnya-ini pasti terjadi. Apalagi, pada masa itu penelitian berlangsung di banyak laboratorium; kalau bukan Roentgen, maka seorang yang lain pasti akan membuat penemuan "kebetulan" yang kurang-lebih sama. Akhirnya, orang-orang lainnya yang kurang siap untuk penemuan itu atau tidak cukup cerdas untuk melihatnya sebagai suatu penemuan, mungkin akan mengatakan bahwa film itu buruk, dan tidak akan menghubungkan bintik-bintik putih di film tersebut dengan sinar-sinar aneh yang menerobos itu.

Orang jenius adalah para pencari yang tekun, mereka berada digaris depansepanjang waktu, itulah sebabnya mengapa mereka tampaknya selalu hadir pada saat yang tepat.

PARA JENIUS ITU GILA
Diantara 4 mitos yang telah disebutkan diatas, mitos ke 5 adalah mitos yang paling populer dan terikat dengan kuat disetiap kepala anak adam (terutama di Indonesia). Dan mitos ke 5 ini adalah mitos penghambat utama mengapa seseorang harus berpikir dua kali untuk menjadi jenius, mereka takut dianggap gila. Jenius itu dapat melingkupi beberapa aspek, tidak hanya jenius akademik, tetapi ada jenius musik, jenius fisik, dan jenius visual. Saya bisa juga menambahkan bahwa seringkali BUKAN SI JENIUS YANG GILA, MELAINKAN MASYARAKATNYA. Gallileo disiksa dan dan dipaksa untuk secara resmi menanggalkan pandangan-pandangan "Bid'ah"-nya agar bisa bertahan hidup, dan pandangan itu adalah tentang bumi yang berputar. Tomaso Campanella secara diam-diam menulis utopianya (City of the Sun) di atas potongan-potongan kertas saat ia dipenjara selama bertahun-tahun; mengapa ia dijebloskan di penjara tidak lain karena dia berani berpikir tentang sebuah masyarakat masa depan dimana semua orang setara. Socrates diadili, dijatuhi vonis, dan dihukum mati hanya karena pembicaraannya dengan pemuda di pasar.

Ini menunjukkan bagaimana masyarakat-masyarakat masa lalu (yang sering kali gila) menentang masa depan. Albert Einstein, sebagai contoh yang lebih kontemporer, cukup beruntung eksis di suatu masyarakat yang sudah lebih beradab, karena kalau tidak dia bisa saja mengalami nasib yang sama. Jadi secara garis besar, para Jenius memiliki peluang yang sama untuk berakhir di rumah sakit jiwa seperti halnya orang-orang lain di dunia ini. Namun demikian ada tetapi-nya yang ini sangat penting: Orang jenius akan dikenang. Orang yang bukan jenius, dan berakhir di rumah sakit jiwa, hanya akan menjadi bagian dari statistik medis. Seperti anda lihat, banyak mitos melingkupi ide tentang jenius.

Untuk menjadi jenius, ABAIKANLAH mitos-mitos itu. Kepercayaan-kepercayaan yang menyesatkan itu menghambat kita untuk mencapai potensi-potensi kita sepenuhnya. Mitos-mitos itu memungkinkan kita menjadi malas; mitos tersebut mengatakan kepada kita bahwa orang-orang akan menganggap kita gila jika kita mengemukakan ide-ide baru yang menantang; mitos tersebut mengatakan kepada kita bahwa kita akan menjadi orang-orang yang terusir mitos tersebut mengatakan kepada kita bahwa sudah terlambat bagi kita untuk menjadi jenius.


SEMUA ITU SALAH!


Kini setelah anda bebas dari mitologi menyesatkan yang melingkupi ide tentang jenius, mari kita jangan berhenti untuk mengungkap jenius di dalam diri masing-masing !

No comments:

Post a Comment