Wednesday 20 July 2011

Mereka bilang, “Dikucilkan adalah berkah!”

Telaah Filosofis Keterkucilan Individu dalam Lingkungan Pergaulan, By Wahyu Budi Nugroho

Implikasi-implikasi Keterkucilan Individu dalam Lingkungan Pergaulan
Siapa dari kita tak pernah dikucilkan? Nyaris tak ada. Hampir semua dari kita pernah mengalami pengalaman tersebut, entah saat kecil, remaja atau bahkan saat ini juga. Tak sedikit pula dari kita yang merasakannya sebagai pengalaman pahit nan getir tersendiri, bahkan meninggalkan trauma berkepanjangan. Beragam respon dan perubahan sikap pun akan kita temui pada mereka pasca mengalami pengalaman tersebut (dikucilkan). Lebih jauh, lihat tabel di bawah ini.
No.
Respon
Perubahan Sikap
Tipe
Kecenderungan





1.
Trauma berat
§  Menganggap masyarakat sebagai Tuhan (segalanya), seakan seluruh dimensi kehidupannya ditentukan oleh masyarakat.
§  Dalam bergaul akan bertindak “sangat hati-hati”, bahkan cenderung memiliki ketakutan berlebih untuk berbuat salah agar tak dikucilkan kembali.
§  Berusaha sekuat tenaga mengabulkan pinta masyarakat, meskipun terkadang terkesan irasional (mengesampingkan kepentingan saudara atau orang tua, bahkan senyatanya bertentangan dengan kepentingan diri).
§  “Phobia sosial”. Cenderung malas atau takut untuk bergabung dalam keramaian (salah satunya dikarenakan ketakutan berlebih berbuat salah ketika bergaul).
Budak masyarakat
§  Pengekor.
§  Tak memiliki inisiatif dan kemandirian berpikir.
§  Tak memiliki jiwa penakluk, cenderung menyerah pada keadaan.
§  Tak dapat diandalkan dan tak mampu menjadi pemimpin.





2.
Trauma sedang
§  Masyarakat sebagai entitas yang perlu dipertimbangkan.
§  Lebih berhati-hati dalam berucap dan bertindak dalam lingkungan pergaulan sosial (tak takut, tapi tak juga tak meremehkan).
§  Berusaha mengabulkan pinta masyarakat, namun masih dalam tataran yang wajar dan dapat dimaklumi (sejauh itu rasional).
§  Senang dalam keramaian, merasakan hal tersebut sebagai penerimaan kembali dirinya oleh masyarakat (serasa telah mengalami rehabilitasi sosial dan kembali “normal”).
Pendamping masyarakat
§  Pemimpin masyarakat.
§  Objektif, dapat menimbang dan menilai baik-buruk pemikiran maupun tindakan masyarakat.
§  Mampu menyelaraskan diri dengan masyarakat.
§  Memiliki jiwa penasehat (pemberi arah).





3.
Trauma ringan
§  Masyarakat sebagai “omong-kosong”.
§  Bebas dalam berucap dan bertindak dalam masyarakat. Seolah pengalaman keterkucilan telah memberikan “kekebalan” pada dirinya. Pada suatu momen dalam keterkucilannya, menyadari bahwa ia dapat berdiri sendiri tanpa masyarakat.
§  Sama sekali tak mau mengabulkan pinta masyarakat, sebaliknya: masyarakatlah yang syarat mengabulkan pintanya secara total.
§  Dominan dan agitatif dalam lingkungan pergaulan.
Penakluk masyarakat
§  Individualis, antisosial dan egois (pemberontak masyarakat).
§  Memiliki kemandirian berpikir yang luar biasa.
§  Agitatif dan propagandis.
§  Dapat diandalkan, siap menjadi yang terbaik (kaum profesional).

Sebagaimana dipaparkan tabel di atas, sebagian dari mereka yang dikucilkan mampu mengambil faedah dari pengalaman tersebut dan menjadikannya “berkah” yang tiada terkira. Hal terkait ditemui pada mereka yang memiliki respon “trauma sedang” berikut “trauma ringan”. Sedangkan, tak sedikit dari kita yang terjerembab dalam klasifikasi respon “trauma berat” dan menimbulkan rentetan dampak sistemik di kemudian hari. Namun demikian, mengapa golongan respon ketiga (trauma ringan) yang individualis, antisosial berikut egois dapat pula dikatakan sebagai berkah? Hal tersebut akan dikaji lebih jauh dalam subbab “Telaah Filosofis Keterkucilan Individu” sebagai berikut.

Telaah Filosofis Keterkucilan Individu
“Keterkucilan adalah ‘induk’ dari orang-orang besar dunia”. Kiranya, itulah tema utama dalam pembahasan subbab terkait. Mengapa keterkucilan yang berakhir pada “apatisme sosial” menjadi perihal yang positif dan patut diapresiasi? Beberapa filsuf dunia siap menjelaskannya di sini. Nietzsche, dalam Sabda Zarathustra menelurkan konsep ubermensch ‘manusia super’. Konsep tersebut menegaskan bahwa mereka yang jenius dan memiliki pola pikir berbeda dengan orang kebanyakan akan selalu “dibenci” masyarakatnya. Mentalitas pun diuji kemudian, apabila pada akhirnya sang jenius tunduk pada masyarakat, maka ia tak lagi menjadi manusia super yang bermental “tuan”, melainkan manusia kebanyakan yang bermental “budak”. “Hanya ada segelintir mentalitas tuan di antara banyak mentalitas budak”, pungkas Nietzsche menegaskan.

Jauh lebih ekstrem ketimbang Nietzsche, Sartre dalam Being and Nothingness secara terang-terangan berkata; “Orang lain adalah neraka!”, “Orang lain adalah sebab kejatuhanku!”. Mengapa Sartre dapat sedemikian “menajiskan” orang lain? Ia menjelaskan bahwa orang lain selalu membuatnya “tak bebas”, tatapan mata yang diarahkan orang lain serasa “membendakan” dirinya, dan itu sama artinya dengan melecehkan. Di sisi lain, Sartre juga mengungkap betapa manusia yang dikaruniai conciousness ‘kesadaran’ dapat dengan bebas mencap (melabelkan) dirinya sesuka hati. Itulah beberapa di antara banyak alasan dari Sartre untuk membenci orang lain maupun “kumpulan orang lain” (baca: masyarakat). 

Apa yang bisa dipetik pelajaran?

    Mentalitas Nietzsche maupun Sartre memungkinkan individu mengambil jarak dari masyarakat, dan mengapa itu baik? Karena masyarakat belum tentu benar. Apabila masyarakat “selalu” benar, lalu apa gunanya para nabi diturunkan Tuhan ke muka bumi?.

    Harus diakui memang, pribadi-pribadi layaknya Nietzsche maupun Sartre memiliki kecenderungan dibenci masyarakatnya ketika mereka masih hidup, namun barulah kemudian masyarakat memahami arti penting (jasa) pemikiran mereka di kemudian hari. Mereka pun lambat-laun mengakui bahwa orang-orang seperti Nietzsche dan Sartre bukanlah orang-orang “ngawur” yang berbicara tanpa alasan mendasar. Pada akhirnya, masyarakat bakal mengakui keduanya sebagai jenius yang telah berpikir jauh ke depan. Dan umumnya, mereka yang memiliki pola pikir "nonkompromis" (jauh berseberangan) dengan masyarakat justru menghasilkan sumbangsih yang jauh lebih besar bagi peradaban umat manusia. Bukankah kasus-kasus demikian telah kita temui pula pada Galileo, Giordano Bruno, Einstein, Soekarno dan seabrek tokoh-tokoh besar dunia lainnya?    

    Dan, hal terhebat yang dapat dipetik adalah, kemampuan mereka untuk merubah “kekecewaan terhadap masyarakat” serta “kekecewaan terhadap dunia” menjadi energi pembangun yang maha dahsyat. Lihatlah bait-bait aforisme Nietzsche yang ditasbihkan sebagai karya sastra tingkat tinggi, begitu pula novel-novel garapan Sartre yang dihadiahi nobel sastra—namun ia menolaknya. Singkat kata, apresiasi tertinggi kita patut dilayangkan pada kemampuan mereka menggunakan “celah” (baca: jalan) yang berbeda untuk menjadi tokoh besar dunia—sekalipun melalui energi negatif dan kondisi jiwa yang luluh-lantah.

No comments:

Post a Comment