Wednesday 11 April 2012

Misteri Danau Toba jadi Penyebab Gempa Aceh?

Gempa 8,5 Skala Richter yang mengguncang Aceh, Rabu 11 April 2012 dirasakan hampir di semua wilayah Sumatera. Tak terkecuali warga yang tinggal di sekitar Danau Toba, Sumatera Utara, danau vulkanik terbesar di dunia. Selama sekitar lima menit, bumi berguncang cukup kuat. Warga Parapat dan Pulau Samosir berhamburan ke luar rumah. Mereka yang kebetulan berada di tepi danau menjadi saksi dari peristiwa yang tak biasa. Air Danau Toba yang biasanya tenang membentuk pusaran, laiknya air sungai deras. Meski tak mungkin terjadi, tak sedikit warga menduga, bakal ada tsunami dari tengah danau. Lihat videonya di tautan ini.

Apa yang membuat air Toba bergolak?

Saat dihubungi, Kepala Seksi Data dan Informasi BMKG kelas I Polonia, Hartanto mengaku belum mengetahui soal fenomena aneh itu. "Kami baru mendengarnya sekarang. Secara teori, bisa jadi itu disebabkan oleh guncangan gempa kuat yang melanda wilayah Aceh," kata dia kepada VIVAnews.com, Kamis 12 April 2012 malam. Dia menambahkan, lindu Rabu lalu memang terasa sangat kuat di wilayah Sumatera Utara, dengan durasi lumayan panjang, hampir lima menit. "Ibarat air di dalam ember, kalau kita guncang dia akan bergerak," tambah dia.

Bagaimana dengan dugaan bergolaknya air terkait aktivitas gunung api di dasar Danau Toba? Hartanto tak memberi jawaban. "Silakan hubungi BBMKG Wilayah 1 Medan, mereka lebih pas memberikan informasi mengenai ini," ujar dia. Dihubungi terpisah, Kepala Bidang Data dan Informasi BBMKG Wil I Medan, Hendra Suwarta mengatakan pergolakan air di Danau Toba bisa saja terjadi karena episentrum gempa tak jauh dari wilayah Sumatera Utara. Hingga getaran terasa kuat. Sementara, soal gunung di dasar Toba, "gempa tersebut belum akan menggangu aktivitas magma di dasar Danau Toba."  

Hendra menerangkan, lapisan batuan yang menutupi magma Danau Toba tebalnya berkisar antara 30 sampai 40 kilometer. "Ini merupakan lapisan batu yang paling tebal di Indonesia. Umurnya ratusan ribu tahun. Tidak ada masalah mengenai itu," kata dia. Ia juga mengaku baru mendengar kabar bergolaknya air Danau Toba. "Kami akan langsung kordinasi dengan BMKG diwilayah Parapat (Danau Toba), kami punya kantor juga di sana," tambah Hendra.

Kisah letusan Gunung Toba

Tak semua orang tahu peristiwa sekitar 70.000 tahun lalu di wilayah yang kini menjadi Danau Toba. Kala itu, terjadi letusan dahsyat gunung api purba, yang diyakini terbesar dalam kurun waktu 2 juta tahun terakhir. Toba sebelumnya adalah gunung purba. Seperti dimuat situs Badan Antariksa AS, NASA, dalam waktu sekitar dua minggu, ribuan kilometer kubik puing dimuntahkan dari Kaldera Toba di Sumatera Utara. Aliran piroklastik--awan yang merupakan campuran gas panas, serpihan batu, dan abu--mengubur wilayah sekitar 20.000 kilometer persegi di sekitar kaldera. Di Pulau Samosir, tebal lapisan abu bahkan mencapai 600 meter. Abu Toba juga menyebar ke seluruh dunia. Di India misalnya, ketebalan abu sampai 6 meter.

Pasca letusan, Gunung Toba kolaps, meninggalkan kaldera modern yang dipenuhi air--menjadi Danau Toba. Sementara, Pulau Samosir terangkat oleh magma di bawah tanah yang tidak meletus. Gunung Pusuk Buhit di dekat danau itu juga terbentuk pasca letusan. Awalnya ilmuwan menduga, letusan Toba menyebabkan penurunan suhu global hingga 10 derajat Celcius selama hampir satu dekade dan membinasakan sebagian besar umat manusia. Meski penelitian terbaru menyebut, efek cuaca yang disebabkan letusan Toba tak sedahsyat itu.

Letusan Gunung Toba yang melontarkan jutaan metrik ton debu volkanik, sulfur, dan partikel-partikel lain ke atmosfir pada 74 ribu tahun yang lalu disebut-sebut menyebabkan penggelapan langit, penurunan suhu global hingga 10 derajat Celcius selama hampir satu dekade dan membinasakan sebagian besar umat manusia. Ternyata, dari penelitian terbaru, efek cuaca yang disebabkan letusan Toba lebih ringan dan reda relatif lebih cepat dibanding perkiraan yang dibuat oleh pada arkeolog dan klimatolog sebelumnya. Manusia yang mengalami bencana letusan Toba itu diperkirakan berhasil melewatinya dengan selamat. Meski dari sejumlah penelitian mengungkapkan bahwa letusan Toba yang kini meninggalkan danau volkanik terbesar di dunia itu menggelapkan dan membekukan dunia, menggunakan data letusan gunung Pinatubo, Filipina tahun 1991, Stephen Self, volkanologis dari Open University, Milton Keynes, Inggris dan Michael Rampino, paleobiologis dari New York University, menyatakan bahwa efek pendinginan suhu akibat letusan Toba hanya mencapai 3 sampai 5 derajat saja.

Berdasarkan data yang didapat dari situs arkeologi di India, tim antropolog University of Oxford, Inggris, yang dipimpin oleh Michael Petraglia menyebutkan bahwa manusia yang tinggal tidak jauh dari zona letusan justru malah berhasil melewati bencana tersebut dengan mudah. Untuk mencari titik terang, tim peneliti yang dipimpin oleh Claudia Timmreck, dari Max-Planck Institute for Meteorology di Hamburg, Jerman membuat pemodelan yang mampu menggambarkan lebih realistis (meski metode ini juga memiliki beberapa kekurangan) apa yang terjadi saat Toba meletus. Peneliti fokus ke bagaimana partikel sulfate aerosol yang terbentuk di stratosfir akibat letusan sulfur dioksida yang mengandung gas mendinginkan atmosfir dengan cara memantulkan sinar matahari. Dari data yang didapat, dan disesuaikan dengan asumsi yang sudah dibuat sebelumnya, diketahui bahwa Toba mengirimkan sekitar 850 juta metrik ton sulfur ke atmosfir. Angka ini 100 kali lebih banyak dibanding setoran gunung Pinatubo ke atmosfir.

Dari simulasi juga diketahui bahwa dampak Toba memang hanya menurunkan suhu sebanyak 3 sampai 5 derajat Celcius di seluruh dunia. Akan tetapi, konsentrasi sulfur tidaklah padat dan segera hilang dari stratosfir selama 2 sampai 3 tahun saja. Perubahan temperatur secara ekstrim yang terjadi di Afrika dan India hanya berlangsung selama 1 sampai 2 tahun. Di kawasan ini, di tahun pertama suhu turun 10 derajat dan 5 derajat di tahun kedua. Menurut Timmreck, seperti dikutip dari ScienceMag, 25 November 2010, Toba juga tidak memusnahkan flora dan fauna. Namun Timmreck mengakui, kehidupan di masa-masa tersebut memang sulit.

Michael Petraglia berpendapat, Toba memang bukanlah penyebab utama anjloknya jumlah populasi manusia di era tersebut. Akan tetapi Toba membuat situasi menjadi makin parah. Langkah selanjutnya, kata Petraglia, peneliti masih harus melanjutkan hasil temuan simulasi tersebut dengan observasi langsung di kawasan sekitar Toba untuk mengetahui secara lebih akurat dampak lingkungan yang terjadi.

No comments:

Post a Comment