Sunday 8 April 2012

Misbach Yusa Biran [Biografi]

Misbach Yusa Biran adalah sutradara film, penulis skenario film, drama, cerpen, kolumnis dan sastrawan Indonesia serta pelopor dokumentasi film Indonesia. Ia lahir dari pasangan yang berasal dari Minangkabau (ayah) dan Banten (ibu). Misbach menikah dengan aktris Nani Widjaya pada tahun 1969, dan dikarunia dengan enam orang anak, dan dua diantaranya mengikuti jejak mereka di dunia film, yaitu Cahya Kamila dan Sukma Ayu. Misbach lulus dari Taman Madya Bagian B, Perguruan Taman Siswa, Jakarta. Ia mulai menyutradarai sandiwara ketika masih duduk di bangku sekolah di awal tahun 1950-an. Di samping itu, ia juga menulis resensi film dan karya sastra. Setelah lulus sekolah ia memilih film sebagai jalan hidupnya. Tahun 1954-1956, ia bekerja di Perusahaan Film Nasional Indonesia (PERFINI) pimpinan Usmar Ismail, berawal sebagai pencatat skrip, kemudian menjadi asisten sutradara dan anggota Sidang Pengarang. Ia juga pernah menjabat sebagai Direktur Pusat Perfilman H. Usmar Ismail Jakarta, anggota Dewan Film Nasional, dan Ketua Umum Karyawan Film dan Televisi (1987-1991).

Tahun 1955, Biran menulis skenario pertama dari cerpen Sjumandjaja Kerontjong Kemajoran yang kemudian oleh Persari diangkat menjadi film berjudul Saodah. Semenjak itu kreativitasnya seakan tak terbendung lagi, dan dituangnya melalui penulisan skenario dan penyutradaraan film. Selama tahun 1957-1960, Misbach membuat film pendek dan dokumenter, dan menyutradarai beberapa film layar lebar pada kurun waktu 1960-1972. Salah satunya berjudul Dibalik Tjahaja Gemerlapan (1967) yang menerima penghargaan untuk Sutradara Terbaik. Ia juga mendapat penghargaan skenario terbaik, untuk film Menjusuri Djedjak Berdarah. Film lainnya yang ia tulis skenarionya adalah Ayahku (1987). Film yang penyutradaraannya ditangani Agus Elias ini pun meraih penghargaan yang sama.

Pada tahun 1971, Misbach sempat memutuskan untuk tidak menyutradarai film karena ia menolak untuk mendukung industri perfilman yang saat itu semarak dengan produksi film porno. Kontribusi Misbach yang terbesar untuk perfilman nasional adalah dengan berdirinya Sinematek Indonesia pada tahun 1975. Lembaga berusaha untuk mendokumentasikan film nasional secara independen. Ia memimpin Sinematek Indonesia hingga tahun 2001. Sosoknya bahkan menjadi identik dengan lembaga tersebut. Misbach juga aktif di dunia jurnalistik. Ia pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Minggu Abadi (1958-1959), Purnama (1962-1963), dan Redaktur Duta Masjarakat (1965-1966), Abad Muslimin (1966), Gelanggang (1967).

Karya-karya sastranya antara lain berjudul Bung Besar (Drama, 1958, menerima Hadiah Kedua Sayembara Penulisan Naskah Drama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun yang sama), Setengah Djam Mendjelang Maut (Drama, 1968), Menjusuri Djedjak Berdarah (Novel, 1969), Keajaiban di Pasar Senen (Kumpulan Cerpen, 1971), Oh, Film (Kumpulan Cerpen, 1973). Kedua kumpulan cerpen ini disatukan di bawah judul Keajaiban di Pasar Senen dan dicetak ulang pada tahun 1996. Misbach juga meluncurkan buku berjudul "Teknik Menulis Skenario Film Cerita" pada 30 Januari 2007.

Di usianya yang mencapai 78 tahun, Misbach yang mendapat penghargaan khusus dari Forum Film Bandung atas dedikasi dan kontribusinya di dunia film, masih terus berkarya melalui skenario yang ditulisnya. Baginya, film adalah alat utama perjuangannya, sebagai media ekspresi kesenian dan intelektual. Yang paling penting menurutnya, film adalah alat dakwah untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, khususnya kualitas bangsa Indonesia.

Pada tahun 2010, Misbach meraih penghargaan status Fellows dari Asosiasi Arsip Audiovisual Asia Tenggara-Pasifik (Southeast Asia-Pacific Audiovisual Archive Association, SEAPAVAA) di Bangkok, Thailand. Program penghargaan SEAPAVAA ini ditujukan sebagai bentuk pengakuan bagi para individu luar biasa atas kontribusi sangat penting melalui berbagai cara di bidang arsip audiovisual, dan atas kepemimpinan mereka dalam komunitas profesional pengarsipan. Namun khusus untuk Misbach, SEAPAVAA menyatakan bahwa sosoknya merupakan inspirasi bagi komunitas arsip film di Asia dan Pasifik. Pendiri Sinematek Indonesia ini adalah orang pertama yang menerima Lifetime Achievement Award SEAPAVAA pada tahun 1997.

No comments:

Post a Comment